Pengantar
Semua orang berakal percaya bahwa dia (telah atau dapat) mengetahui sesuatu, dan bahwa dia bisa mengetahui hal-hal lain. Karenanya, dia berupaya untuk mendapat informasi menyangkut kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan hidupnya. Tanda terbaik dari berlangsungnya upaya itu ialah munculnya berbagai bidang ilmu dan filsafat. Dengan demikian, orang yang tak termakan oleh keragu-raguan mustahil dapat menyangkal atau membimbangkan kemungkinan dan keaktualan ilmu pengetahuan.
Sejarah filsafat menyaksikan berbagai mazhab pemikiran yang sama sekali mengingkari (kemungkinan) pengetahuan, seperti sofisme, skeptisisme, dan agnostisisme. Orang yang secara mutlak menging-kari pengetahuan (jika memang ada) bisa dikata sedang menderita was-was mental yang akut, suatu keadaan yang sebetulnya menimpa banyak orang dalam soal lain.
Kali ini fokusnya lebih terhadap skeptisisme. Skeptisisme sendiri merupakan salah satu dari aliran epistimologi. Skeptisisme berasal dari bahasa Yunani, skeptomai yang berarti memperhatikan dengan cermat, teliti. Skeptisisme adalah aliran atau sistem pemikiran yang mengajarkan sikap ragu sebagai sikap dasar yang fundamental dan universal. Tokoh-Tokohnya adalah Democritus, Protagoras, Phyrro, Montaigne, Charron, Bayle, Nietze, Spengler, Goblot.
Definisi
Secara umum skeptisisme adalah pandangan, bahwa orang tidak mungkin bisa sampai pada pengetahuan. Di dalam pandangan para pemikir skeptis yang lebih moderat, manusia masih bisa sampai pada pengetahuan, namun tidak akan pernah sampai pada kepastian. Di dalam pandangan yang lebih radikal, pengetahuan manusia tidak pernah bisa didasarkan pada argumen yang masuk akal. Dengan kata lain pengetahuan manusia itu irasional. Argumentasi adalah sekumpulan kata-kata kosong untuk membuktikan sesuatu yang memang tidak bisa dibuktikan.
Pada level yang lebih luas, skeptisisme adalah suatu bentuk ketidakpercayaan pada cara mengetahui manusia. Misalnya ketidakpercayaan pada ingatan sebagai sumber ingatan, karena ingatan sifatnya sangat rapuh dan subyektif. Ada juga para pemikir skeptis yang tidak percaya pada kepastian pengetahuan manusia tentang dunia di luar dirinya. Bagi mereka pengetahuan tentang dunia di luar diri manusia hanya sebentuk sensasi-sensasi saraf otak semata, dan bukan pengetahuan yang asli.
Dasar Pemikiran
Keraguan yang dilontarkan oleh kaum sofis dalam ranah keyakinan memiliki dua bentuk yaitu kemampuan akal dalam menggapai hakikat sesuatu dan berkaitan dengan sebagian pengenalan-pengenalan manusia. Keraguan dalam bentuk pertama dapat dijabarkan secara universal sebagai berikut:
1. Alat dan sumber pengetahuan, keyakinan, ilmu, dan makrifat manusia adalah indra dan akal.
2. Indra dan akal manusia rentan dengan kesalahan, karena kesalahan penglihatan, pendengaran, dan rasa itu tidak dapat dipungkiri dan juga tidak tertutup bagi seseorang mengenai kontradiksi-kontradiksi akal serta beberapa kekeliruannya. Dalam banyak kasus di sepanjang sejarah, kita menyaksikan dalil-dalil rasional dan argumentasi-argumentasi akal telah dibangun, namun seiring berlalunya waktu secara bertahap dalil dan argumentasi tersebut satu persatu menjadi batal.
3. Kesalahan dan kekeliruan kedua sumber pengetahuan tersebut dalam beberapa hal tidaklah nampak, akan tetapi tetap saja tidak dapat dijadikan landasan dan tertolak.
Dengan demikian, berdasarkan ketiga pendahuluan di atas yakni pengetahuan dan makrifat manusia yang dihasilkan lewat jalur indra dan akal adalah tidak dapat dijadikan pijakan dan karena manusia hanya mempunyai dua jalur dan sumber pengetahuan ini maka sangatlah logis apabila manusia meragukan apa-apa yang dipahami dan diyakininya tersebut serta sekaligus mengetahui bahwa mereka mustahil mencapai suatu keyakian dan pengetahuan yang hakiki. Atau keraguan itu bisa dipaparkan dalam bentuk ini bahwa senantiasa terdapat jarak antara manusia dan realitas atau gambaran-gambaran pikiran dan persepsi-persepsinya itu, dan pikiran manusia, sebagaimana kaca mata, merupakan hijab yang membatasinya dengan realitas eksternal, dengan demikian, tidak akan pernah manusia menyaksikan dan mengetahui realitas dan kenyataan eksternal itu sebagaimana adanya.
Sejarah Lahirnya Skeptisisme
Skeptisisme ini berkembang sudah sejak abad ke-5 sebelum masehi, dan itu mulanya kembangkan oleh para pemikiran sofis (T.M.Yazdi 2003).
Pandangan Yazdi itu berbeda dengan Solomon. Bagi Solomon, pemikiran skeptisisme di mulai sejak filosof yang bernama Pyrrho (kira-kira 360-270 SM), dan kemudian dilanjutkan oleh Sextus Empicurus (abad tiga sebelum masehi) di Roma.
Pada mulanya skeptis merupakan sebuah filsafat kehidupan. Ia berurusan mengenai bagaimana orang menjalani kehidupan. Dalam kehiduapan, orang selalu mendapati persoalan-persoalan dengan adanya ketidakadilan, kebrutalan, dan hal-hal yang tragis.
Jadi, bisa dikata bahwa para pemikir skeptis pada awal berurusan dengan bagaimana orang menghindari prilaku brutal, tragis, dan tidak adil. Sehingga di situ butuh epoche , sehingga manusia bisa mencapai ataraxia.
Dalam dunia modern, ada sekelompok pemikir yang berasal dari dunia barat mengembangkan teori ide innate . Teori ide innate ini adalah perkembangan dari dan modifikasi warisan Plato. Otak dari semua ini adalah John Locke , dikuti oleh Berkeley , dan Hume . Hal ini berkembang pesat di Inggris. Kelompok yang pertama biasa disebut sebagai rasionalis, sedangkan kelompok yang kedua sebagai empiris . Dan kedua kelompok ini saling bertolak belakang dalam hal pengetahuan dan sumber pengetahuan manusia. Pada Hume, buah pemikiran Locke dan Berkeley dibawa sejauh mungkin, sehingga sampai pada titik puncak, yaitu skeptis yang akut.
Klaim Para Skeptis
Hume, dalam pembahasan mengenai sumber pengetahuan sama halnya dengan Locke, yaitu pengetahuan manusia berasal dari pengalaman indrawi. Sebagai dasar pengetahuan harus dapat dibuktikan secara empiris, sesuai dengan kesan indra.
Karena akal manusia adalah terbatas hanya pada apa yang bisa didapat dari pengalaman indra, sehingga akal tidak bisa berfikir di luar hal itu. Dan ketika ada orang yang berfikir hal-hal diluar pengalaman indrawinya, bagi Hume ada kesia-siaan yang penuh dengan ketololan.
Pikiran hanya terbatas dengan hal-hal materi, sehingga pikiran tidak akan mampu berfikir tentang hal metafisika. Atau manusia tidak bisa menerima pendapat tentang Tuhan sekalipun. Bagi Hume, karena Tuhan tidak bisa dibuktikan secara empiris-logis, maka berfikir tentang Tuhan adalah pikiran yang menyesatkan. Descartes membuktikan bahwa Tuhan itu ada dengan menggunakan akal dan hukum kausalitas. Tetapi Hume, menganggap bahwa akal tidak bisa membuktikan apapun mengenai keberadaan dan persoalan fakta, akal hanya memberikan bukti logis matematis, dan akal hanya memberi tahu kita mengenai hubungan antar-gagasan. Dan keberadaan Tuhan bukan merupakan gagasan yang dengan sendirinya terbukti, juga bukan kebenaran yang bisa ditunjukkan secara logis. dan ini yang dipakai Hume untuk menghancurkan teori Descartes dan Plato mengenai Tuhan.
Penyataan-pernyataan para sofis dan skeptis, dilihat dari satu sisi, bisa kita bagi menjadi dua, yaitu bagian yang berhubungan dengan wujud dan eksistensi, dan bagian yang berhubungan dengan ilmu dan pengetahuan. Contohnya, Georgias, tokoh sofis yang dianggap paling ekstrem, pernah menyatakan, "Tiada yang benar-benar ada. Kalaupun ada yang benar-benar ada, ia tidak bisa diketahui. Dan kalaupun bisa diketahui, ia tidak bisa dikomunikasikan."
Jawaban Atas Klaim Para Skeptis
Inilah konsep dari jawaban atas klaim para Skeptis. Sekarang bila seorang mengklaim bahwa pengetahuan-pasti mustahil tercapai, pertanyaan yang perlu diajukan kepadanya ialah apakah dia mengetahui klaimnyaitu secara pasti atau dia juga meragukannya. Jika dia menjawab bahwa dia mengetahui kemustahilan pengetahuan-pasti secara pasti, setidaknya satu pengetahuan-pasti telah diperoleh, seperti yang diakuinya dan dengan demikian klaimnya mengenai kemustahilan pengetahuan-pasti dia langgar sendiri.
Sebaliknya, jika dia tidak mengetahui secara pasti tentang kemustahilan pengetahuan-pasti, setidaknya dia telah mengakui kemungkinan adanya pengetahuan-pasti. Dengan demikian, klaimnya tentang kemustahilan pengetahuan-pasti telah dikelirukannya sendiri. Akan_tetapi, jika seorang berkata bahwa dia meragukan kemungkinan pengetahuan-pasti dan klaim-klaim tentang pengetahuan-pasti, perlu ditanyakan apakah dia telah mengetahui dengan pasti bahwa dia punya keraguan semacam itu atau tidak. Jika dia menjawab bahwa dia mengetahui secara pasti adanya keraguan tersebut, itu berarti bahwa dia tidak hanya telah mengakui kemungkinan pengetahuan-pasti, tetapi juga mengakui keaktualan pengetahuan-pasti itu (dalam dirinya). Akan tetapi, jika dia menyatakan bahwa dia meragukan apakah dia benar-benar punya keraguan atas keberadaan pengetahuan pasti (yang terdapat dalam dirinya), jawaban seperti ini tidak bisa tidak diakibatkan oleh suatu penyakit atau niat buruk yang memerlukan tanggapan non-teoritis.
Nah dari konsep diatas terbantahkanlah pendapat Hume. Di belahan dunai Barat, ada seorang filsuf yang sangat termasyhur dalam teori etika. Dan pada pendahulan bukunya sudah, melemparkan kritik dengan jelas dan lugas terhadap Hume, yaitu Kant.
Kritik Kant terhadap Hume dengan mengatakan bahwa pikiran adalah aktif, tidak seperti Hume, baginya pikiran adalah pasif, seperti yang dilontarkan oleh Locke, yaitu pikiran bagai kertas kosong atau lemari kosong. Bagi Hume dan Locke, pengetahuan hanya bersumber dari pengalaman pengindraan.
Bagi Kant ada elemen lain yang tidak diperoleh dari pengalaman pengindraan, dan tidak diperoleh dari realitas bebas. Elemen ini datang dari pikiran itu sendir. Pikiran menurut Kant, dibekali konsep murninya yakni bahwa pikiran mengatur perubahan kesan pengindraan menjadi berbagai zat, ciri, dan jumlah serta menjadi sebab-akibat. Pikiran dilengkapi dengan dua belas konsep murni atau kategori.
Konsep murni menurut Kant adalah sebagai sebuah priori , dan bahwa konsep murni tidak terikat dengan pengalaman, sehingga pengalaman tidak bisa mengubahnya. Kemudian Kant menambahkan, bahwa konsep merupakan bentuk universal. Artinya bahwa konsep membentuk pemikiran dan kesadaran apapun.
Menurut Kant, kesalahan Hume terletak pada pembatasan pengetahuan atas kesan indra. Tambah Kant, pengetahuan tidak hanya berisi persepsi indra, elemen empiris, tetapi juga berisi konsep priori yang kita gunakan untuk memahami benda, elemen rasional dalam pengetahuan. Konsep priori ini mengatur kesan indra dan memungkinkan adanya pengalaman atas suatu objek dan ilmu pengetahuan. Segelintir sanggahan atau kritik Kant terhadap pemikiran skeptisisme ini merupakan dialektika dalam dunia Barat.
Salah satu keraguan lain andalan kaum sofis dan skeptis yang mereka ungkapkan dalam berbagai format dan mereka sodorkan dalam berbagai contoh ialah keraguan berikut: terkadang seseorang memperoleh kepastian tentang keberadaan sesuatu dengan pancaindra, tetapi sebentar kemudian dia menyadari bahwa kekeliruan telah terjadi. Orang ini lalu mengetahui bahwa persepsi indriawi tidak selalu bisa dipercaya. Seterusnya, timbul kemungkinan bahwa semua persepsi indriawi lain pun bisa salah, hingga suatu ketika dia melihat kekeliruan terjadi secara nyata. Begitu pula ada kalanya seorang menemukan satu prinsip bersifat pasti secara rasional, tetapi kemudian mengetahui bahwa penalarannya rancu, lantas kepastiannya beralih menjadi keraguan. Akibatnya, dia mengetahui bahwa penalaran intelektual pun tidak selalu dapat diandalkan. Dengan cara yang sama, timbul kemungkinan akan penularan kerancuan pada berbagai persepsi intelektual lainnya. Kesimpulannya, pengindraan dan penalaran sama-sama tidak dapat dipercaya sehingga tinggalah keraguan yang tersisa dalam dirinya. Berikut adalah tanggapan-tanggapan atas argumen di atas:
I. Tujuan argumen di atas ialah untuk menegaskan kesahihan skeptisisme dan pengetahuan tentang kebenarannya melalui suatu penalaran. Se tidak-tidaknya, argumen itu dirancang untuk membuat lawan diskusi menerima pokok soal yang diajukan, supaya dia mendapatkan penge tahuan tentang kesahihan klaim-klaim para skeptis. Bagaimana hal itu bisa terjadi, bilamana para skeptis berpendapat bahwa memperoleh pengetahuan mutlak tidak mungkin?
2. Temuan mengenai kekeliruan persepsi indriawi dan intelektual berakibat pada pengetahuan bahwa persepsi-persepsi tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Dan hal itu meniscayakan penerimaan pada keberadaan pengetahuan tentang kekeliruan persepsi.
3. Implikasi lain dari temuan itu ialah pengetahuan akan adanya kenyataan yang-dalam kasus ini-tidak sesuai dengan persepsi yang keliru tersebut. Jika tidak demikian, gagasan mengenai kekeliruan persepsi tidak akan pernah ada.
4. Implikasi lainnya ialah pengetahuan kita bahwa persepsi yang keliru dan bentuk mentalnya bertentangan dengan keadaan sesungguhnya.
5. Dan terakhir, keberadaan orang yang mempersepsi secara keliru, demikian pula indra dan akalnya, mestilah diterima secara mutlak.
6. Penalaran di atas itu sendiri pada dasarnya bersifat rasional (mekipun sangat rancu dan menyesatkan). Mengandalkannya dalam kaitan ini berarti menganggap akal dan hasil-hasil persepsinya sebagai bisa dipercaya.
7. Lebih dari itu, satu pengetahuan lain telah diasumsikan di sini, yaitu pengetahuan bahwa persepsi-persepsi yang keliru (mistaken perceptions), karena keliru, tidaklah mungkin benar (true). Jadi, argumen para skeptis itu sendiri sebenarnya mengimplikasikan penerimaan pada sejumlah contoh pengetahuan-pasti. Lalu, bagaimana mungkin orang bisa secara mutlak menolak kemungkinan pengetahuan atau meragukannya?
Kesimpulan
Semua jawaban di atas telah mematahkan argumen para skeptis. Dalam menganalisis dan menonjolkan kerancuannya, terbukti kesahihan dan kekeliruan persepsi indriawi dengan bantuan penalaran. Sebagaimana telah disebutkan, adalah salah jika kita menduga bahwa temuan mengenai adanya kekeliruan dalam sejumlah persepsi intelektual dapat menular pada semua persepsi intelektual lainnya, lantaran keke liruan seperti itu hanya mungkin terjadi pada persepsi-persepsi spekulatif atau selain yang swabukti. Sebaliknya, proposisi-proposisi swabukti yang menjadi landasan pembuktian filosofis sama sekali tidak mungkin keliru.
Poin penting yang bisa disimpulkan adalah:
1. Skeptisisme keliru beranggapan bahwa kalau kita mengetahui sesuatu kita tidak bisa salah, benar dan salah merupakan kategori yang dipakai untuk menilai pengetahuan kita .
2. Kenyataan menunjukkan bahwa selalu ada konsep yang berpasangan secara hitam-putih, benar-salah, hidup-mati, laki-laki perempuan, malaikat-setan, serta tahu-tidak tahu. Jadi, ketidaktahuan justru memberikan kemungkinan bagi kemunculan pengetahuan itu sendiri.
3. Skeptisisme radikal akan melahirkan berbagai kontradiksi. Kaum skeptis yakin pada pernyataan “semua keyakinan perlu diragukan” yang berarti tak terkecuali bahwa pernyataan itu sendiripun harus diragukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar