"Ayah bunda lucu deh," kata anak kami Faiz, pada suatu hari yang
gerimis.
Saya mengerutkan kening sambil tersenyum. " Lucu? Lucu apanya sayang?"
" Orangnya bertolak belakang! He he he...."
Saya tersentak sesaat. Faiz, anak kami yang belum berusia 10 tahun dan
suka menulis puisi, "membaca " kami sedalam itu.
Saya manggut-manggut. "Hmmm, lalu apanya yang salah ?"
Dia mengerling menggoda. " Tidak ada. Ayah Bunda pasangan yang unik!"
Saya dekatkan wajah saya pada Faiz dan menyentuh lembut hidungnya.
" Aku mencatat beberapa contoh. Bunda suka durian, ayah anti durian.
Bunda periang, ayah pendiam.
Bunda humoris, ayah sangat serius. Hmmm, apalagi ya? Ayah menganalisa,
bunda sensitif. Ayah itu detail, bunda tidak.
Ayah dan bunda memandang persoalan dengan cara berbeda. Menyelesaikan
persoalan dengan berbeda pula!"
Saya bengong.
"Bunda romantis tapi ayah tidak. Kalau aku romantis!" katanya setengah
berbisik, lalu tertawa.
Saya tambah bengong! Tahu apa anak itu tentang romantisme?
Faiz terus nyerocos. Ia pun bercerita, tentang percakapan disekolah
dengan teman-temannya.
Anak-anak SD Kelas IV ituternyata sudah berpikir, kelak kalau menikah
harus mencari pasangan yang sifatnya sama!
"Kalau tidak nanti bisa cerai!"
What? Saya garuk-garuk kepala.
"Aku saja yang tidak begitu setuju, Bunda. Aku bilang pada teman-teman,
justru karena ayah bunda berbeda,
jadinya malah asyik lho!"
Saya geleng-geleng kepala lagi, sambil mengulum senyum. Ah, tahukah para
orangtua mereka bahwa anak-anak mereka kadang tahu lebih banyak dari
yang kita pikir?
Tak lama Faiz sudah asyik dengan bacaannya di kamar. Di ruang kerja
saya, tiba-tiba wajah beberapa teman lama melintas.
A memilih bercerai karena setelah menikah 10 tahun dan punya 2 anak
kemudian merasa ia dan suami sama sekali tak cocok!
B menjalani kehidupan rumah tangganya dengan perasaan hampa karena tak
kunjung merasa cocok dengan suaminya,
setelah menikah belasan tahun.
C selalu berkomunikasi dengan suaminya tentang berbagai hal, tapi
terpaksa cekcok hampir setiap
hari karena tak kunjung sampai pada sesuatu bernama kesamaan.
D tak lagi peduli pada indahnya jalan pernikahan dan sekadar menjaga
keutuhan rumah tangga sampai akhir hayat.
Di antara mereka ada yang seperti saya, menikah karena dijodohkan
sahabat atau ustadz. Ada pula yang menikah setelah melalui pacaran lebih
dahulu bertahun-tahun. Dan atas nama "ketidakcocokan" itulah yang
terjadi.
Saya akui, pengamatan Faiz jeli. Saya dan Mas Tomi memang sangat
berbeda. Sebelas tahun kami bersama dan berupaya mencari titik temu. Tak
selalu berhasil. "We are the odd couple!" kelakar kami.
Tapi alhamdulillah , di tengah-tengah segala perbedaan itu, kami berusaha
untuk tak berhenti berkomunikasi.
Saya mencoba memilih waktu yang tepat, yang menyenangkan untuk bicara
berdua. Begitu juga Mas.
Kami membicarakan perbedaan kami di saat dan di tempat yang nyaman dan
menyenangkan.
Kadang tak semua perlu dibicarakan. Mas menunjukkan dengan sikap apa
yang ia inginkan dari saya.
Kadang saat saya lelah, tanpa harus terucap kata "saya capek," Mas
memijat pundak dan punggung saya. Saya tahu, saya menangkap, Mas akan
senang kalau saya perlakukan demikian pula. Saya selalu memberi kejutan
di saat milad, ulang tahun pernikahan, di saat ia meraih kesuksesan atau kapan saja saya mau. Mas menyadari, itu artinya saya pun ingin
diperhatikan demikian. Ia mencoba, meski sebelumnya tak ada tradisi itu
di keluarga Mas. Saya membuatkannya puisi saat Mas kerap memberi saya
data statistik keuangan kami. Mas tahu, saya ingin sesekali diberi puisi
sederhana tentang cinta.
Saya pun menyadari, Mas ingin saya bisa mencatat semua pemasukan dan
pengeluaran rumah tangga dengan rapi.
Mas suka makanan tertentu. Dan meski tak suka, saya coba memasaknya.
Saya membelikan Mas pakaian yang sedikit modis.
Mas nyengir, tapi ia coba memakainya.
Berupaya untuk memahami dan mengecilkan perbedaan menjadi indah, ketika
itu dilakukan dengan senyum dan ketulusan,
bukan karena tuntutan atau paksaan terhadap pasangan. Dan kalau dengan
berubah kita lantas menjadi lebih baik,
kalau berubah itu dalam rangka ibadah, dalam rangka membuat pasangan
kita bahagia, mengapa tidak?
Kalaupun pasangan kita tidak juga berubah dari karakter semula setelah
bertahun-tahun,
mengapa kita tak melihat hal itu sebagai keunikan yang makin membuat
kita "kaya"?
Di atas itu semua, sebenarnya semua perbedaan bisa saja seolah lebur
saat suami istri menyadari persamaan utama mereka, yaitu keinginan
menjadi abdi illahi sejati! Cinta karena dan untukNya, menjadikan sifat
dan karakter yang paling berbeda sekalipun, bersimpuh atas namaNya.
Perbedaan justru menjadi masalah serius ketika masing-masing pribadi
memang tidak menempatkan ridho Allah sebagai tujuan utama dalam biduk
rumah tangga mereka.
Di luar, hujan mulai reda. Sayup-sayup saya dengar suara Faiz di telpon.
Rupanya ia sedang bercakap dengan salah satu temannya. "Apa? Ayah
bundamu bertengkar?
Sudah, jangan menangis. Cinta yang besar kepada Allah,
akan selalu menyatukan mereka!"
Saya nyengir. Sejak kapan anak itu menjadi konsultan ya?
Pena Kecil Helvy Tiana Rosa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar